Terkadang kita mendapatkan sebuah artikel ataupun informasi dari beberapa media sosial tentang islam misalnya saja ketika ada seseorang menshare artikel tentang aqidah namun hadistnya tidak di teliti dahulu dicari dahulu keshahihan nya, derajat hadistnya apa, mereka langsung share saja.
Maka dengan ini saya memberikan informasi bagaimana kita menyikapi hal tersebut.
Sahabat dunia islam, Hadits dhaif (kalau merujuk pada ilmu Musthalah Hadits) merupakan tingkatan hadits paling rendah setelah hadits sahih dan hasan. Hadits ini dikatakan dhaif hanya karena penisbatannya yang tidak begitu meyakinkan kepada Rasulullah SAW.
Sebabnya antara lain adalah silsilah sanadnya yang terputus, rawinya yang kurang kuat ingatannya, dan lain sebagainya. Namun apakah hadits ini bisa sama dengan hadits maudhu (palsu)? Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan sederhana ini.
Syekh Khalil bin Ibrahim dalam sebuah karyanya Khuthuratu Musawatil haditsid Dhaif bil Maudhu menjelaskan secara panjang lebar terkait perbedaan itu. Ia mengecam sebagian kalangan yang menyamakan hadits dhaif dengan hadits palsu. Keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Menyamakan keduanya termasuk suatu kesalahan fatal dalam beragama.
Syekh Khalil menjelaskan, di antara perbedaan hadits dhaif dan maudhu adalah sebagai berikut.
إن الحديث الضعيف هو في الأصل منسوب إلى النبي المصطفى الكريم صلى الله عليه وسلم بخلاف الموضوع، فهو مكذوب مختلق مصنوع.
Artinya, “Hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan hadits maudhu yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi SAW).
Selain itu, penyebab dhaifnya sebuah hadits adalah keterputusan sanadnya, atau kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya seperti lemahnya daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan hadits maudhu adalah hadits yang tidak bersumber sama sekali dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian hadits dhaif boleh diriwayatkan secara ijmak, sedangkan hadits maudhu tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.
Selanjutnya, hadits dhaif tetap diamalkan berdasarkan ijmak ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan (fadhail), anjuran kebaikan, dan larangan keburukan. Sedangkan hadits maudhu haram diamalkan. Serta hadits dhaif akan naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi ketika ada sanad lain yang memperkuat kebenarannya. Sedangkan hadits palsu tidak akan mengalami kenaikan status sekalipun mempunyai puluhan ataupun bahkan ratusan hadits pendukung dari jalur yang berbeda-beda.
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-Durrul Mandhud sebagaimana yang dikutip juga oleh Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’ban menyebutkan sebagai berikut.
وقد اتفق الأئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل والترغيب والترهيب، لا في الأحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف.
Artinya, “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal fadhail(keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan ancaman keburukan. Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.”
Melihat sejumlah perbedaan itu, maka sangat naif kalau ada seseorang yang begitu entengnya membuang hadits dhaif seolah-olah itu bukan (tidak tergolong) sebagai perkataan Nabi sama sekali. Sementara itu di sisi lain, tidak terhitung banyaknya ulama yang mengamalkan hadits-hadits dhaif selama kedhaifannya tidak terlalu parah dan tidak mempunyai hadits pendukung dari jalur atau sanad yang lain.
Berikut ini kutipan beberapa pendapat ulama terkait Bagaimana Sikap Muslim Terhadap Hadits Dhaif dan Hadits Palsu .
Pertama, Imam Nawawi dalam Fatawa-nya menyebutkan adanya konsensus (ijmak) di kalangan ulama terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram.
Kedua, boleh mengamalkannya secara mutlak dalam persoalan hukum ketika tidak ditemukan lagi hadits sahih yang bisa dijadikan sebagai sandaran. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan Abu Daud. Selain itu Imam Abu Hanifah dan Ibnul Qayyimil Jauziyyah juga mengutip pendapat tersebut.
Ketiga, hadits dhaif boleh diamalkan jika ia tersebar secara luas dan masyarakat menerimanya secara umum tanpa adanya tolakan yang berarti (talaqqathul ummah bil qabul). Keempat, boleh mengamalkannya ketika hadits dhaif tersebut didukung oleh jalur periwayatan lain yang sama atau lebih kuat secara kualitas darinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At-Tirmidzi dalam karyanya. Wallahu a‘lam. (Yunal Isra )
dikutip dari syariah NU.or.id
Terima kasih anda telah membaca artikel Bagaimana Muslim Menyikapi Terhadap Hadist Dhaif dan Palsu. Jika anda kurang paham silahkan berkomentar dibawah & Ada baiknya jika artikel ini bermanfaat Share ke saudara atau teman anda.
0 Response to "Bagaimana Muslim Menyikapi Terhadap Hadist Dhaif dan Palsu"
Post a Comment
Jika ada kurang paham atau mau memberikan tambahan ilmu tentang hal serupa segera layangkan pada kolom komentar. Karena ilmu yang kita miliki mesti kita amakan karena itu akan berbuah pahala bagi pengamal dan pemberi ilmunya.
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).
Kode Emoticon :